Sejarah Desa
SEJARAH SINGKAT TERJADINYA DESA TAMBAKREJO
Tambakrejo adalah salah satu desa yang masuk wilayah Kecamatan Magetan Kabupaten Magetan. Desa Paling Timur di Wilayah Kecamatan Magetan ini dibatasi oleh :
Sebelah Utara : Desa Baron
Sebelah Selatan : Desa Kalangketi dan Desa Mojopurno
Sebelah Barat : Desa Mangkujayan
Sebelah Timur : Desa Kalangketi
Sejalan dengan kemajuan jaman saat sekarang ini, desa Tambakrejo semakin semarak karena diwarnai dengan munculnya beberapa pembangunan baik sebagai sarana maupun prasarana kebutuhan masyarakat desa setempat. Hal ini tidak lain karena daya upaya pimpinan desa yang peduli terhadap desa serta rakyatnya. Bagaimana sejarahnya, bagaimana legendanya dan bagaimana ceritanya tentang asal-usul desa Tambakrejo ini? Saudara Asmo Sentono (Almarhum), yang pernah menjabat Lurah Desa Tambakrejo th 1948-1969 dan saudara sugeng peduli sejarah, warga dukuh Ngegong desa Tambakrejo, Kepala Desa serta sesepuh desa setempat memberi informasi dan petunjuk tentang hal ihwal asal usul terjadinya desa Tambakrejo ini sebagai berikut:
Pada waktu desa Tambakrejo ini masih berupa rawa-rawa, penduduk setempat memanfaatkan rawa-rawa itu untuk memelihara itik, ikan,belut serta tanaman-tanaman rawa lain yang dapat menghasilan kebutuhan hidup penduduk setempat sehari-hari. Karena hasilnya ternyata sangat menguntungkan bagi penduduk, maka rawa-rawa itu disekat-sekat sehingga berbentuk tambak-tambak. Pendudukpun semakin menekuni pekerjaan sebagai petani tambak. Hidup merekapun karena hasil tambak itu menjadi serba kecukupan.
Karena hasil tambak didaerah ini semakin banyak, menyebabkan orang-orang dari daerah ini semakin banyak, menyebabkan orang-orang dari daerah lain dikanan kiri desa ini menjadi sangat tertarik. Mereka berbondong-bondong mendatangi daerah tambak ini. Semula hanya ingin mengetahui keadaannya saja. Namun karena sangat tertarik terhadap hasil yang diperolehnya, akhirnya mereka turut juga memelihara ikan-ikan dan banyak juga yang daerah ini menjadi ramai (Jw. REJO). Karena daerah ini makin lama makin (Jw.REJO) maka atas persetujuan penduduk setempat daerah tambak itu dinamakan daerah TAMBAKREJO dan selanjutnya menjadi nama desa Tambakrejo saampai sekarang ini. Lahan tambak itupun semakin lama juga semakin diperluas, karena penduduknya juga semakin bertambah banyak. Wilayah desapun juga diperluas. Masyarakat hidup tenang, tentram dan bahagia.
Desa Tambakrejo ini terdiri dari 2 dukuh dan memiliki tempat-tempat keramat yang legendanya masih mejadi cerita penduduk setempat secara turun temurun.
- DUKUH NGEGONG
Dukuh Ngegong adalah bagian Barat desa Tambakrejo. Di dukuh ini ada dua tempat keramat yang diyakini oleh penduduk setempat masih memiliki kekuatan ghaib.
- WATU GILANG
Berada di sebelah Utara jalan besar desa Tambakrejo. Barang yang dianggap keramat ini berupa sebuah batu besar berbentuk balok memanjang. Konon menurut cerita penduduk setempat, batu ini dahulu dipergunakan untuk memandikan orang-orang yang meninggal dunia. Mayat orang yang meninggal itu diletakkan diatas watu gilang itu dengan posisi kepala disebelah Barat, dan kaki di sebelah Timur. Mayat diguyur daun kelor. Yakni air yang dipergunakan untuk memandikan mayat itu diberi kelor. Air tersebut disaring dengan kain panjang (Jw. Jarit) agar kotoran termasuk daun kelor tadi tidak menembus kebawah, sehingga air tetap bersih.
- WATU GONG
Pada jaman dahulu, desa Tambakrejo ini belum ada yang memiliki gong/gamelan. Namun, mereka tidak perlu bingung apabila menginginkan menabuh gamelan karena di kawasan ini ada beberapa batu yang disebut “watu gong”. Disebut watu gong menurut keterangan penduduk setempat karena setiap ada orang yang mempunyai keperluan mantu dan memerlukan gamelan gong, pasti pinjam ke watu gong itu. Jumlah watu gong ini ada 7 buah, terdiri dari: yang kecil 5 buah dan yang besar 2 buah. Adapun cara meminjam gong tersebut adalah, dengan menyiapkan sesaji yang terdiri dari :
- Pisang setangkap
- Lawe/benang satu ukel
- Kemiri
- Cok bakal yang diisi dengan telur ayam, daun dadap serep 1 lembar dan digulung, rokok satu bungkus, uang logam kuno tiga rupiah
- Kelapa dan nasi, semuanya dimasukkan didalam satu wadah yang disebut tenong
- Ayam warna putih
Setelah disajikan didekat gong-gong batu dengan niat pinjam gong, dalam waktu sekejap tanpa diketahui dengan mata kelapa, sesaji tersebut tahu-tahu hilang tidak kelihatan lagi entah kemana tempatnya, dan dengan seketika itu juga muncullah seperangkat gong lengkap. Selanjutnya gamelan itu diambil yang meminjam atau orang-orang yang disuruh meminjamkan. Adapun cara mengembalikan, gong seperangkat lengkap tadi ditaruh ditempat dia muncul dan diserahkan kepada yang empunya. Anehnya, tahu-tahu gong-gong itu hilang dengan sendirinya.
Syaratnya, orang-orang yang meminjam gong itu hanya diperbolehkan pinjam satu kali saja. Apabila ada orang yang berani meminjam gong tersebut lebih dati satu kali, gong-gong itu tidak bakal muncul dan bahkan mereka yang pinjam itu menjadi jatuh sakit. Yang baurekso gamelan itu. Karena kawasan ini ada seperangkat watu gong itulah maka oleh penduduk setempat menambahkan NGEGONG, selanjutnya menjadi dukuh Ngegong sampai sekarang ini.
- DUKUH PLOSO
Dukuh ploso adalah bagian Timur desa Tambakrejo. Di dukuh ini ada sebuah kolam, penduduk setempat mengatakan “ BLUMBANG GEDHE”. Blumbang ini masih dipercaya memiliki kekuatan “ghoib” yang mampu menyebabkan hal-hal yang menyusahkan masyarakat atau menyenangkan masyarakat. Agak jauh disebelah Timur Desa Tambakrejo ini ditengah sawah ada sebatang pohon itu ada dua kubur yang ditandai dengan batu nisan. Menurut penuturan saudara Udiono warga desa Tambakrejo, asal usul dukuh ploso itu diawali dari datangnya pawongan dari daerah Mataram. Mereka bernama Mbah Palang. Pendatang suami istri itu tiba-tiba didesa Botok Kecamatan Sukomoro yang pada waktu masih berwujud lahan berhutan. Mbah palang bersifat sosial dan senang membantu kepada sesama yang sedang mengalami kesulitan. Kecuali itu Mbah Palang memiliki kelebihan lain dalam ilmu ghaib. Pada suatu ketika Mbah Palang yang gemar “jajah desa milang hari” ini sampai didaerah Tambak rejo sekarang ini. Pada waktu itu penduduk Tambakrejo sedang kekuarangan pangan. Mengetahuai keadaan demikian Mbah Palang segera bertindak menolong mereka dengan cara menggunakan ilmu kasektennya. Pada suatu tempat Mbah Palang menanam sebatang pohon Ploso dan didekat pohon itu digalinya tanah untuk bertapa. Beberapa hari mereka “tapa ngluwang” dengan maksud mohon kepada Tuhan Yang Maha Pemurah agar warga desa Tambakrejo terhindar dari bahaya kekurangan pangan. Pada suatu malam pada puncak semedinya, Mbah Palang mengetahui “badan halus” semacam jin yang berbondong-bondong membawa padi melewati tempat semedi mereka. Dengan cekatan Mbah Palang menghadang jin-jin dan perkelahianpun terjadi. Karena kasektennya, jin-jin itu kalah, semua padi yang dibawanya diserahkan kepada Mbah Palang. Jin-jin itu akhirnya lari ketakutan dan menghilang. Selanjutnya padi-padi itu dibagi-bagikan kepada warga desa Tambakrejo sebagai bibit padi untuk ditanamnya pohon ploso.Dan Mbah Palang berpesan, apabila meninggal dunia agar dimakamkan didekat pohon ploso yang ditanamnya itu. Akhirnya daerah makam Mbah Palang dan sekelilingnya oleh warga setempat dimakamkan daerah ploso, selanjutnya menjadi dukuh Ploso sampai sekarang ini. Istri Mbah Palang pun ketika meninggal dunia juga dimakamkan di makam Ploso ini. Karena ada sebatang pohon ploso yang keramat itulah maka kawasan Timur desa Tambakrejo ini disebut PLOSO, selanjutnya menjadi dukuh Ploso.
Adapun secara berturut-turut yang menjabat Kepala Desa Tambakrejo adalah:
NO |
NAMA |
TAHUN |
1 |
Truno Menggolo |
- |
2 |
Somo Dirjo |
-1948 |
3 |
Asmo Senton |
1948-1969 |
4 |
Suroto Asmosentono |
1969-1991 |
5 |
Sukani Pambudi |
1991-1999 |
6 |
Sunarno |
1999-2013 |
7 |
Slamet |
2013-2019 |
8 |
Widji |
2019-SEKARANG |